Diabetes
mellitus
Diabetes mellitus, DM (bahasa
Yunani: διαβαίνειν, diabaínein, tembus
atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit
kencing manis adalah kelainan metabolik yang
disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglikemia kronis dan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sebagai akibat dari:
- defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya.[2]
- defisiensi transporter glukosa.
- atau keduanya.
Berbagai penyakit,
sindrom dan simtoma dapat
terpicu oleh diabetes mellitus, antara lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia,
sindrom
Down, penyakit Huntington, kelainan mitokondria,
distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi,
sindrom Werner, sindrom Wolfram,[3]
leukoaraiosis,
demensia,[4]
hipotiroidisme,
hipertiroidisme,
hipogonadisme,[5]
dan lain-lain.
Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan perawatan dan simtoma:[2]
- Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
- Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin
- Diabetes
gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance,
GIGT dan gestational diabetes mellitus, GDM.
dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi: - Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
- Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
- Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa
Inggris: insulin-dependent diabetes mellitus), sedang
tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi NIDDM (bahasa
Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan
NIDDM merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature
of Diseases pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International
Classification of Diseases pada tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus, MRDM, tidak
lagi digunakan oleh karena, walaupun malnutrisi
dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat ini belum
ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan
diabetes. Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus,
PDPDM, PDPD, PDDM, masih dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh
diabetes mellitus dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe
lain, Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD, diklasifikasikan sebagai
penyakit pankreas
eksokrin pada lintasan fibrocalculous pancreatopathy yang menginduksi
diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan
sebagai tahap dari cacat regulasi glukosa, sebagaimana dapat diamati pada
seluruh tipe kelainan hiperglisemis. Namun tidak lagi dianggap sebagai
diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG, diperkenalkan
sebagai simtoma
rasio gula
darah puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi
masih di bawah rasio yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.
Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa
Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes,
insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi
karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel
beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans
pankreas.
IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan,
bahkan dengan diet
maupun olah
raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat
badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas
maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes
tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan
insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui
alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk
tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma
bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian
gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya,
juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk
pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah
ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan
pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin
melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan
memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan
yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan.
Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke
angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l).[rujukan?] Beberapa dokter
menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah
dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic
events".[rujukan?] Angka di atas
200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air
kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi.[rujukan?] Angka di atas
300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat
mengarah ke ketoasidosis.[rujukan?] Tingkat glukosa
darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan
kesadaran.
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa
Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes,
non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan
tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam
sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh
mutasi pada banyak gen,[6]
termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin,
resistansi sel terhadap insulin[7]
yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10[8]
dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati
menjadi kurang peka terhadap insulin[9]
serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa
oleh otot
lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.[9]
Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat
yang ditemukan pada manusia.[10]
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi,[11]
rasio RBP4 dan hormon resistin yang
tinggi,[9]
peningkatan laju metabolisme glikogenolisis
dan glukoneogenesis pada hati,[9]
penurunan laju reaksi oksidasi dan
peningkatan laju reaksi esterifikasi
pada hati.[12]
NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia[13],
lipodistrofi,[9]
dan sindrom resistansi insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas
terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam
darah.[rujukan?] Hiperglisemia
dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang
dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi
glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit,
sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang
dibutuhkan.[rujukan?] Ada beberapa
teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini,
namun obesitas sentral
diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin,
dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok
hormon) itu merusak toleransi glukosa.[rujukan?] Obesitas
ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan
jenis 2 kencing manis.[rujukan?] Faktor lain
meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah
terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.[rujukan?]
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas
fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat),
dan lewat pengurangan berat
badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika
kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10
sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk.
Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs.
[Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya
tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap
digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan
mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan
menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya
menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal,
ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal
atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang
cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali
dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini
diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2.[14]
Seperti zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin
akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker.[15][16]
Sebuah fenotipe
sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah
defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria[17]
pada otot
lurik.[18][19]
Sebaliknya, hormon
tri-iodotironina
menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP
sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV,
menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres
oksidatif,[20]
sedang hormon melatonin
akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan
aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.[21]
Bersama dengan insulin,
ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam
otot lurik.[22]
Di sisi lain, metalotionein yang
menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko
defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.[23][24][25]
Simtoma
yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan
pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini
diketahui sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun
para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan
bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.[26]
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan:[27]
- peningkatan mRNA glukokinase,
- peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
- peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
- peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[28]
- penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
- penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati
- penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase
- penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase
- meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis
sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi
mRNA fosfoenolpiruvat
karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di
dalam hati.
Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah
jenis jeruk,
sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.
Diabetes mellitus tipe 3
Diabetes mellitus gestasional (bahasa
Inggris: gestational diabetes, insulin-resistant type 1
diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to require
injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5"
diabetes, type 3 diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang
terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan
interleukin-6
dan protein reaktif C pada
lintasan patogenesisnya.[29]
GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari
wanita penderita GDM bertahan hidup.[rujukan?]
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan.
GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan.
GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama
masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat
membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh
bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit
jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka.
Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan
janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat
terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum
kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang
buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan
menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda
bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan
makrosomia, seperti distosia bahu.
Patofisiologi
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan
hormonal, seperti hormon sekresi kelenjar
adrenal, hipofisis
dan tiroid merupakan studi pengamatan
yang sedang laik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes
mellitus sering disebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme
atau sindrom Cushing.
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat
pada resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia,
yang berdampak pada penyakit
kardiovaskular dan berakibat kematian.[30]
GH
memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa
dengan menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan
kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1
(IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik.
Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat
menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian
banyak orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi
ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada
hiperkortisolisme yang menjadi penyebab obesitas
viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan turunnya
toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis
dan glikogenolisis.
Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi,
hiperkoagulasi, dapat
meningkatkan risiko kardiovaskular.
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar
tiroid berupa tri-iodotironina dengan hipertiroidisme
yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.
Pada penderita tumor
neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh
hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain,
yaitu tipe 1. Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma
dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis
bagi sel beta, baik in vitro
maupun in vivo.[31]
Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,[32][33]
dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin;
selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4-.[33]
Komplikasi
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit
kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis
ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat
menyebabkan kebutaan,
serta kerusakan saraf
yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Ketoasidosis diabetikum
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan
bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena
sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini
mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan
keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi
asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus
dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada
anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk
memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton.
Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang
dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin,
penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan
satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan
atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan
gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka
timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi
ketoasidosis.[rujukan?] Jika kadar gula
darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat
stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami
dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan
suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.[rujukan?]
Diagnosis
Tabel: Kadar glukosa darah
sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl).[34]
|
Bukan DM
|
Belum pasti DM
|
DM
|
Kadar glukosa darah sewaktu:
|
|||
Plasma vena
|
<110
|
110 - 199
|
>200
|
Darah kapiler
|
<90
|
90 - 199
|
>200
|
Kadar glukosa darah puasa:
|
|||
Plasma vena
|
<110
|
110 - 125
|
>126
|
Darah kapiler
|
<90
|
90 - 109
|
>110
|
Simtoma klinis
Simtoma
hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
- poliuria - sering buang air kecil
- polidipsia - selalu merasa haus
- polifagia - selalu merasa lapar
- penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1
dan setelah jangka panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu
berbagai komplikasi kronis, seperti:
- gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
- gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
- gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,[34]
- gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual,
dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan
hiperosmolar non-ketotik yang
dapat berakibat pada stupor dan koma.
- rentan terhadap infeksi.
Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria,
atau kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan
perawatan.
Penanganan
Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak
mengalami kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga
tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang
terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan
dengan dosis sebelum berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang
memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka
saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda,
dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.[34]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar